Monday, December 30, 2013

KULINER BANDUNG DALAM 2 HARI

Sudah lama sekali kami tidak ke Bandung. Kemacetan dan peraturan 4 in 1 adalah salah satu alasan yang membuat kami malas kesana. Tapi karena kantor suami ku mengadakan acara Outing, maka kami memutuskan untuk memperpanjang 1 hari untuk melihat-lihat perkembangan terakhir kota Bandung. Dari hasil perjalanan singkat kami, saya hadirkan 3 review yang menarik. Selamat menikmati.

BAKSO SOUN & MIE AYAM “LODAYA” (**)









Nama “Lodaya” itu karena tempat makan ini pertama didirikan di Jl. Lodaya. Tapi sekarang sudah pindah ke Jl. Veteran no 3 Bandung, telpon 022 4231145. Jangan sampai tertipu oleh namanya dan pergi ke Jl. Lodaya karena bekas lokasi lama sudah ditempati rumah makan serupa. Hal ini dialami oleh suami saya yang ngotot mau makan di Jl. Lodaya. Tapi saya berusaha meyakinkan suami bahwa rumah makan yang asli sudah pindah ke Jl. Veteran. Kebetulan saya sempat browsing, dan terlihat rumah makan penggantinya juga sepi pengunjung. Untunglah ada kertas pengumuman yang menempel dipagar, yang menyatakan pindah ke Jl.Veteran, sehingga suami pun yakin dan segera memutar balik kendaraannya.

Setibanya disana, jelas sekali terlihat perbedaanya yaitu tempat parkir dipenuhi kendaraan dan terlihat jelas para pengunjung memenuhi meja-meja di ruang outdoor rumah makan ini, padahal waktu sudah menunjukkan pk 15 sore. Saya pun turun duluan untuk mencari tempat, sementara suami mencari tempat parkir. Saya mendapat tempat didalam ruangan, dimana meja kami berada dibelakang area tempat meracik makanan dan minuman.

Menunya hanya 2 yaitu baso daging / urat sudah termasuk soun, dan mi ayam.  Pelengkapnya adalah tetelan, pangsit datar, tahu kotak serta kriuk-kriuk. Untuk pemilihan menu saya serahkan sepenuhnya kepada suami sehingga dia memesan 1 porsi baso campur daging & urat, 1 porsi mi ayam, tambah tetelan dan kriuk-kriuk. Ada 2 macam dessert yang disediakan disini yaitu “es selalu” yaitu es selalu dipesan (DP) dan es selalu dikenang (DK). Hahaha lucunya. DP berisi kolang kaling, kelapa muda, nangka, tape, roti tawar, santan dengan pilihan sirup : hijau, merah, putih, gula pasir. Kalau DK berisi berbagai macam manisan, gula merah, santan. Pilihan kami kami adalah DP sirup hijau dan es jeruk.

Sambil menunggu pesanan datang, saya sibuk mengambil foto-foto baso yang sedang diracik dan kriuk-kriuk yang sedang digoreng. Para pengunjung juga dihibur dengan alunan musik yang berasal dari speaker, dimana saat itu sedang diputar rekaman lagu jadul banget. Sepertinya lagu-lagu itu berasal dari jaman tahun 40-50an ketika masih dijajah Belanda. Bangunan rumah makan ini juga berasal dari rumah tempo dulu yang masih mempertahankan bangunan aslinya.

Nah itu dia pesanan kami datang, semangkuk baso campur ditambah irisan tahu goreng, potongan daging dan soun. Kuahnya berwarna keruh khas kaldu dengan taburan bawang dan sedikit berminyak. Ketika dimakan memang terbukti baso & kuahnya terbuat dari daging sapi asli. Sounnya juga beda, lembut, tidak hancur, yang pasti lebih enak dari penjual baso lainnya.

Nah kalau mi ayamnya sudah dicampur kuah, penyajian khas kota Bandung. Bakmi nya agak tebal, tidak keriting dan empuk, diberi potongan daging ayam dan jamur dengan jumlah cukup royal, dengan bumbu berwarna kecoklatan, plus daun sawi. Pelengkap yang kami pesan adalah tetelan yaitu potongan daging sapi yang bercampur dengan urat dan lemak, serta kriuk-kriuk yaitu bakmi yang digoreng kering seperti ifumi. Rasanya mirip chesse stick tanpa keju, renyah dan enak.

Makan mi dan baso tidak lengkap tanpa sambal. Sambal yang tersaji disetiap meja, dasyat rasa pedasnya. Setiap suapan menghasilkan cucuran keringat yang semakin membasahi tubuh. Situasi ini paling pas bila didinginkan dengan es DP. Tertulis di daftar menu, es DP rasanya ringan dan segar. Memang terbukti seperti itu. Walaupun isinya cuma sedikit alias ringan, tapi es serutnya banyak alias segar. Es dengan citarasa leci ini sungguh tidak mengecewakan.



Makan makanan bercitarasa lezat tidak perlu membuat kantong bolong. Disini mi ayam dan baso dihargai @Rp 14.000, tetelan Rp 3.000, kriuk-kriuk Rp 4.500, es DP Rp 8.000 dan es jeruk Rp 9.000. Baso soun dan mi ayam Lodaya ini memang pantas menjadi tujuan kuliner kota Bandung karena rasanya yang authentic. 


FLOATING MARKET LEMBANG (***)



















Dalam acara outing kantor suami saya, kami diberi fasilitas menginap di hotel dikawasan Ciumbuleuit. Karena kami memperpanjang masa menginap tambah semalam lagi, maka keesokan harinya kami mulai menjelajahi daerah-daerah yang jarang kami lewati. Tujuan pertama kami adalah wilayah Punclut yang terkenal setiap hari minggu pagi dipenuhi oleh para wisatawan yang berjalanan kaki disepanjang jalan Punclut yang menanjak. Sambil berolahraga, menikmati segarnya udara pegunungan dan menikmati pemandangan kota Bandung yang indah dari atas, serta ditemani oleh para pedagang terutama pedagang makanan disepanjang jalan. Tapi karena hari itu adalah hari Selasa, maka jalanan terlihat sepi oleh pengunjung yang berjalan kaki. Disepanjang jalan Punclut berderet aneka warung dan rumah makan khas Sunda. Kami melaju terus di rute yang berkelok-kelok dengan kondisi jalan yang jauh dari mulus.

Ternyata rute ini tembus ke daerah Lembang. Didaerah dekat pasar Lembang kami melihat sebuah petunjuk arah ke Floating Market Lembang. Aah saya baru teringat cerita teman saya yang berkunjung ke pasar apung Lembang. Jadi ini toh tempatnya. Segera saya ajak suami untuk mengunjungi tempat ini. Dia pun sama antusiasnya dan penasaran seperti saya.

Dijalan masuk kami dikenakan biaya Rp 10.000 / orang dan Rp 5.000 untuk parkir kendaraan. Kemudian kami parkir kendaraan dan berjalan menuju sebuah bangunan kayu berbentuk rumah joglo, yang merupakan pintu gerbang wisata pasar apung ini. Wow kami terhenyak melihat pemandangan didepan kami. Rupanya pasar apung ini adalah sebuah danau yang luas, dimana disekeliling danau dibangun aneka taman yang indah dengan saung-saung tempat istirahat, lalu ada toko oleh-oleh, toko mainan anak, restaurant, FO, dll yang semuanya menempati bangunan kayu berbentuk joglo. Selain itu ada arena permainan, kebun strawberry, taman kelinci, taman batu, wahana air, dan yang paling utama adalah pasar apung, yaitu aneka penjual makanan diatas kapal yang diparkir rapi disepanjang danau. Pengunjung yang ingin menikmati makanan disini harus membeli koin dulu sebagai alat pembayaran dipasar apung.

Kami berjalan pelan menyusuri para pedagang makanan tsb, semakin lama semakin sulit kami menentukan makanan apa yang akan kami beli. Beraneka ragam jajanan ada disini. Jajanan tradisional seperti gorengan tahu, cireng, mendoan, cimol, jagung, surabi, cakwe, tutut alias keong sawah, seblak, ceker seuhah, jamur crispy, batagor, siomay, lotek, pisang bakar, ketan bakar, colenak, tape ulen, combro, misro, bacang, otak-otak, ronde, singkong keju, kerak telor, duren bakar, dll. Jangan salah, jajanan modern pun ada seperti dimsum, potato twist alias kentang ulir, pao alias bakpau, kebab, risol, takoyaki, sate baso, dll. Lalu kalau mau pilih yang lebih kenyang ada sate plus lontong, kupat tahu, empal gentong & mi jawa.

Berdasarkan pengamatan kami, banyak pengunjung yang membeli cakwe. Jadi kami pun turut membeli cakwe, ditambah gorengan dan cireng, kesukaan suami saya. Masih ada sisa koin 10.000 lagi yang harus dihabiskan karena tidak ada sistem refund. Saya putuskan untuk membeli sekantong jamur crispy. Sebenarnya saya lebih tertarik dengan kentang ulir yang banyak dipilih pengunjung juga, tapi apa daya perut saya sudah penuh tidak bisa menampung lagi. Parahnya lagi hari itu adalah hari kejepit sebelum Natal. Maka banyak sekali wisatawan yang berkunjung dan makan disini sehingga kami tidak kebagian kursi. Akhirnya kami nekat duduk diatas sebuah meja, hahaha. Kebetulan semua meja & kursi bentuknya kecil dan rendah seperti meja kursi anak TK.

Setelah kekenyangan, kami berjalan-jalan sambil menurunkan beban diperut, melihat-lihat keindahan pemandangan, melihat lomba perahu dayung, serta sibuk berfoto ria. Indahnya hari ini.


KEDAI NYONYA RUMAH (**)










Malam-malam dikota Bandung, hawa yang semakin dingin dan gerimis yang semakin deras, semakin membuat perut kami keroncongan. Setelah menyusuri jalanan kota Bandung cukup lama, akhirnya suami memutuskan untuk makan malam di Kedai Nyonya Rumah di Jl. Naripan no 92C. Saya bilang sama suami bahwa “perasaan dulu kita sudah pernah makan di Kedai Nyonya Rumah, tapi bukan di jalan ini”. Suami saya bilang kalau resto ini memang punya cabang di Jl. Trunojoyo. Oh baru paham saya.

Ketika masuk tempat ini, saya bingung, dimana tempat makannya, karena hanya ada rak kaca tempat mendisplay kue-kue yang dijual, persis toko kue biasa. Saya bertanya kepada seorang pelayan, bahwa kami mau makan untuk 2 orang. Dia bilang “masuk saja kedalam bu”. Oh rupanya area tempat makan berada dihalaman belakang, dimana ada sebuah halaman dengan kolam ikan dan meja makannya terletak diteras belakang disekeliling taman tsb.

Buku menu yang diberikan cukup tebal dan berat. Dihalaman pertama tertulis menu spesial yaitu Java steak, Hawaiian bbq steak, nasi garang asam iga, nasi iga sapi bakar, kakap steak with pineapple sauce & Deense schnitzel. Selanjutnya ada 2 kategori masakan yaitu masakan Indonesia & Eropa. Suami saya tertarik dengan nasi garang asam dan saya memesan beef cordon bleu karena biasanya kan chicken cordon bleu, kalau beef cordon bleu saya belum pernah mencobanya. Untuk minumannya suami memesan es tape kelapa muda dan saya hot chocolate. Ketara sekali ya, suami vs saya adalah masakan Indonesia vs masakan Eropa, pasti.

Malam itu pengunjung cukup ramai. Pesanan kami tiba dalam rentang waktu normal. Pertama adalah garang asam yang disajikan diatas piring aluminium yang diletakan diatas sebuah tunggu kecil dengan api, untuk menjaga masakan tetap panas. Daging iga yang disajikan cukup banyak, ditambah buncis dan potongan tomat hijau, dengan kuah encer berwarna coklat. Persepsi suami saya salah total, karena dalam bayangannya adalah daging dengan belimbing wuluh, diberi kuah santan dan dibungkus daun pisang. Jangan salah, walaupun garam asam berasal dari Jawa Tengah, tapi tiap daerah memiliki versi cara memasak yang berbeda-beda.

Disini garang asam terasa manis dan segar yang berasal dari kecap, tomat hijau dan jeruk limau. Dagingnya banyak dan empuk, sangat memuaskan perut. Kemudian beef cordon bleu adalah daging has yang berisi keju dan smoke beef didalamnya, lalu dibalut tepung panir dan digoreng hingga berwarna coklat. Disajikan bersama jagung, brokoli, ketimun, telur rebus, mayones, kentang goreng. Daging walau terlihat kecil, tapi tebal loh. Isian keju dan smoke beefnya sih sedikit, tapi dagingnya tebal dan banyak. Saya sampai kekenyangan. Setelah makan menghirup hot chocolate memang nikmat, diatasnya diberi sebuah marshmallow (yang segera saya singkirkan).

Kesimpulan sajian disini enak dan bercitarasa otentik yaitu seperti masakan tempo dulu. Kemudian baru saya sadari, ketika saya selesai makan dan berjalan keluar, saya melihat sebuah gambar yang dipigura yaitu gambar 2 buah sampul buku resep jaman dulu berjudul “Pandai Masak”. Saya ingat betul buku masak ini dimiliki oleh nenek saya dan diwariskan ke ibu saya. Rupanya resto ini didirikan oleh sang penulis resep ibu Julie Sutarjana. Pantesan gaya masakannya sama seperti masakan nenek saya.


Selain enak dan otentik, harga masakan disini tidak terlalu mahal yaitu garam asam Rp 45.000, Beef cordon bleu Rp 53.500, es tape kelapa muda Rp 18.000, fresh orange juice Rp 18.500, hot chocolate Rp 16.000. Beda jauh dengan harga makanan di cafe-cafe Jakarta. Kedai Nyonya Rumah memang pantas menjadi tujuan wisata kuliner kota bandung.

No comments: