Sebagai
orang Indonesia, tentunya kita sangat akrab dengan masakan dari negeri sendiri.
Masakan sehari-hari seperti nasi goreng, sering kita masak sendiri dirumah, atau
bisa juga kita nikmati di kaki lima atau di restoran. Oleh karena itu saya jarang
sekali, kurang berminat menikmati masakan Indonesia yang disajikan di
resto-resto papan atas. Saya lebih suka menikmati masakan khas daerah tertentu
yang disajikan di rumah makan atau restoran bahkan kaki lima yang secara
spesialis menyajikan hidangan unggulan tertentu.
Tapi
karena kami sering melewati daerah Panglima Polim, lama-lama kami penasaran
juga ingin mencoba masakan Indonesia yang disajikan di sebuah resto baru
bernama “1953” di Jl. Panglima Polim III no. 93. Sehingga minggu malam yang lalu,
kami bertiga dengan ibu, menyambangi resto tsb untuk makan malam.
Tiba
disana, kami parkir didepan sebuah bangunan rumah besar yang memiliki penerangan
yang redup. Cahaya yang berpedar berasal dari lampu tulisan “1953 Restaurant
Indonesien” dan dari lantai carport. Hujan rintik-rintik menemani kami masuk
lewat pintu samping yang tersembunyi.
Sampai
didalam kami disambut oleh waitres dimeja reseption. Sebuah prasasti dalam
bahasa Belanda tertempel di dinding, menerangkan bahwa bangunan tsb dibangun
oleh sebuah perusahaan Belanda bernama N.V. Rathkamp en Co pada bulan April
1953. Dalam perjalanan kami menuju ruang makan non smoking, saya melihat bahwa
interior bangunan ini tampak elegan dan mewah, bercampur dengan gaya industrial,
tanpa jejak unsur dekorasi tradisional Indonesia.
Sebagian
dinding ada yang berhiaskan keramik mozaik, ada yang dihiasi kipas raksasa, ada
pula dinding berlukiskan Lea Simanjuntak plus tandatangannya. Sebagian
lantainya ada yang bermotif papan catur dan lantai kayu. Kebanyakan furniture
terbuat dari kayu yang kokoh, serta tempat duduk merupakan kombinasi antara
kursi dan sofa. Disetiap meja makan sudah tersedia sepasang sendok garpu,
serbet hitam dan gelas wine. Ya saya lihat banyak sekali botol wine yang dipajang
disini.
Dalam
keremangan cahaya, kami membaca buku menu. Kata pertama yang terlintas dalam benak
kami adalah mahal. Menu terdiri dari salad, bites alias snack yang terdiri dari
tahu bawel, tempe mendoan, bakwan jagung atau campuran ketiganya yang dihargai
dengan Rp 119.000, vegetable seperti gado-gado dan aneka tumisan lainnya, rice adalah
4 macam pilihan nasi yaitu putih, merah, kuning dan kencur, rice dishes seperti
nasi goreng, nasi kapau, nasi campur, tumpeng merdeka dll, large plate &
bowl untuk makan tengah seperti tongseng, rawon, sop buntut, ayam betutu,
bandeng, udang pancet bakar, wagyu dll, Indonesian grill yaitu sate ayam dan
maranggi serta bistik Jawa, desserts dan sharing menu untuk 4 orang @Rp
195.000.
Pilihan
kami jatuh pada mix satay, yang katanya berisi 12 tusuk sate plus lontong, dan ayam
bakar bumbu kecombrang nasi kencur. Kedua menu tsb sepertinya cukup untuk makan
tengah kami bertiga, tinggal tambah seporsi nasi putih lagi. Untuk minumannya
kami memesan 2 teh panas jenis english breakfast dan jasmine serta es campur.
Sambil
menunggu pesanan, saya melihat kesibukan cheft yang memasak di open kitchen
disamping ruang makan kami. Pelayan hilir mudik membawa pesanan untuk rombongan
pengunjung disamping meja kami. Teh panas pesanan kami datang dalam cangkir dan
poci bening. Piring makan yang dibagikan, berlukiskan merak biru yang cantik.
Ketika
mix satay datang, wow sebuah piring lebar berisi 3 jenis sate yaitu sate ayam,
maranggi dan sate lilit disajikan sekaligus bersama pasangannya yaitu bumbu
kacang dan lontong untuk sate ayam, sambal kecap, ketan dan acar untuk sate
maranggi serta sambal matah dan urab untuk sate lilit. Ukuran sate lebih besar
dari biasanya. Sate ayam enak rasanya, dagingnya empuk dengan bumbu yang
meresap. Sate lilit rasanya juara, lembut terbuat dari ikan dori, racikan bumbunya
pun sedap, enak berpadu dengan urab Bali. Nah kalau sate maranggi, kami kurang
suka karena agak keras, tapi katanya terbuat dari daging wagyu.
Kemudian
ayam bakar bumbu kecombrang nasi kencur adalah nasi kencur yang diberi topping
potongan daging ayam bakar serta tumisan bumbu kecombrang. Sajian ini penuh kejutan
rasa aromatik kecombrang, nasi kencurnya pun enak tapi rasa ayam bakarnya biasa
saja karena bumbu kecombrang tidak diolah menyatu dengan ayam.
Terakhir
adalah es campur, es serutnya berbentuk kerucut, isinya banyak dan sama jenisnya
seperti laiknya es campur lainnya. Berisi alpukat, kelapa muda, nangka, cincau,
tape peyeum dan sagu mutiara, es campur ini tetap manis sampai lelehan es
terakhir.
Menurut
saya kalimat “not about revolution, nor it is about fusion, it is purely
Indonesia food” memang benar menggambarkan sajian disini. Masakan Indonesia
yang dikemas dengan presentasi yang indah dan dibalut dengan kemewahan
peralatan makan dan suasana, but not the outstanding food.
Selesai
makan kami diajak berkeliling oleh sang pemilik resto Bp. Teddy. Bangunan resto
seluas 1000 meter ini menyediakan fasilitas untuk private room, outdoor space
dan paket meeting room, sangat cocok untuk private party, seminar maupun
meeting. Bila weekend tiba, resto ini sudah buka sejak pk. 8 untuk menyajikan
sarapan seperti lontong sayur, bubur ayam, dll dengan harga yang lebih
terjangkau.
1 comment:
Waduh jadi pengen mampir situ kalau pulang kerja, bagus banget dekorasinya... kalau dilihat dari fotonya sepertinya enak. BTW apa resto itu juga menyediakan layanan catering untuk acara kantor?
Salam kenal ya kak,
Rooswati
Post a Comment