Sudah lama sekali kami
tidak ke Bandung. Kemacetan dan peraturan 4 in 1 adalah salah satu alasan yang
membuat kami malas kesana. Tapi karena kantor suami ku mengadakan acara Outing,
maka kami memutuskan untuk memperpanjang 1 hari untuk melihat-lihat
perkembangan terakhir kota Bandung. Dari hasil perjalanan singkat kami, saya
hadirkan 3 review yang menarik. Selamat menikmati.
BAKSO SOUN & MIE AYAM “LODAYA”
(**)
Nama
“Lodaya” itu karena tempat makan ini pertama didirikan di Jl. Lodaya. Tapi
sekarang sudah pindah ke Jl. Veteran no 3 Bandung, telpon 022 4231145. Jangan
sampai tertipu oleh namanya dan pergi ke Jl. Lodaya karena bekas lokasi lama sudah
ditempati rumah makan serupa. Hal ini dialami oleh suami saya yang ngotot mau
makan di Jl. Lodaya. Tapi saya berusaha meyakinkan suami bahwa rumah makan yang
asli sudah pindah ke Jl. Veteran. Kebetulan saya sempat browsing, dan terlihat rumah
makan penggantinya juga sepi pengunjung. Untunglah ada kertas pengumuman yang
menempel dipagar, yang menyatakan pindah ke Jl.Veteran, sehingga suami pun
yakin dan segera memutar balik kendaraannya.
Setibanya
disana, jelas sekali terlihat perbedaanya yaitu tempat parkir dipenuhi
kendaraan dan terlihat jelas para pengunjung memenuhi meja-meja di ruang outdoor
rumah makan ini, padahal waktu sudah menunjukkan pk 15 sore. Saya pun turun
duluan untuk mencari tempat, sementara suami mencari tempat parkir. Saya
mendapat tempat didalam ruangan, dimana meja kami berada dibelakang area tempat
meracik makanan dan minuman.
Menunya
hanya 2 yaitu baso daging / urat sudah termasuk soun, dan mi ayam. Pelengkapnya adalah tetelan, pangsit datar,
tahu kotak serta kriuk-kriuk. Untuk pemilihan menu saya serahkan sepenuhnya
kepada suami sehingga dia memesan 1 porsi baso campur daging & urat, 1 porsi
mi ayam, tambah tetelan dan kriuk-kriuk. Ada 2 macam dessert yang disediakan
disini yaitu “es selalu” yaitu es selalu dipesan (DP) dan es selalu dikenang
(DK). Hahaha lucunya. DP berisi kolang kaling, kelapa muda, nangka, tape, roti
tawar, santan dengan pilihan sirup : hijau, merah, putih, gula pasir. Kalau DK
berisi berbagai macam manisan, gula merah, santan. Pilihan kami kami adalah DP
sirup hijau dan es jeruk.
Sambil
menunggu pesanan datang, saya sibuk mengambil foto-foto baso yang sedang
diracik dan kriuk-kriuk yang sedang digoreng. Para pengunjung juga dihibur
dengan alunan musik yang berasal dari speaker, dimana saat itu sedang diputar rekaman
lagu jadul banget. Sepertinya lagu-lagu itu berasal dari jaman tahun 40-50an
ketika masih dijajah Belanda. Bangunan rumah makan ini juga berasal dari rumah
tempo dulu yang masih mempertahankan bangunan aslinya.
Nah
itu dia pesanan kami datang, semangkuk baso campur ditambah irisan tahu goreng,
potongan daging dan soun. Kuahnya berwarna keruh khas kaldu dengan taburan
bawang dan sedikit berminyak. Ketika dimakan memang terbukti baso & kuahnya
terbuat dari daging sapi asli. Sounnya juga beda, lembut, tidak hancur, yang
pasti lebih enak dari penjual baso lainnya.
Nah
kalau mi ayamnya sudah dicampur kuah, penyajian khas kota Bandung. Bakmi nya
agak tebal, tidak keriting dan empuk, diberi potongan daging ayam dan jamur dengan
jumlah cukup royal, dengan bumbu berwarna kecoklatan, plus daun sawi. Pelengkap
yang kami pesan adalah tetelan yaitu potongan daging sapi yang bercampur dengan
urat dan lemak, serta kriuk-kriuk yaitu bakmi yang digoreng kering seperti ifumi.
Rasanya mirip chesse stick tanpa keju, renyah dan enak.
Makan
mi dan baso tidak lengkap tanpa sambal. Sambal yang tersaji disetiap meja, dasyat
rasa pedasnya. Setiap suapan menghasilkan cucuran keringat yang semakin
membasahi tubuh. Situasi ini paling pas bila didinginkan dengan es DP. Tertulis
di daftar menu, es DP rasanya ringan dan segar. Memang terbukti seperti itu. Walaupun
isinya cuma sedikit alias ringan, tapi es serutnya banyak alias segar. Es
dengan citarasa leci ini sungguh tidak mengecewakan.
Makan
makanan bercitarasa lezat tidak perlu membuat kantong bolong. Disini mi ayam
dan baso dihargai @Rp 14.000, tetelan Rp 3.000, kriuk-kriuk Rp 4.500, es DP Rp
8.000 dan es jeruk Rp 9.000. Baso soun dan mi ayam Lodaya ini memang pantas
menjadi tujuan kuliner kota Bandung karena rasanya yang authentic.
Dalam acara outing kantor
suami saya, kami diberi fasilitas menginap di hotel dikawasan Ciumbuleuit.
Karena kami memperpanjang masa menginap tambah semalam lagi, maka keesokan harinya
kami mulai menjelajahi daerah-daerah yang jarang kami lewati. Tujuan pertama
kami adalah wilayah Punclut yang terkenal setiap hari minggu pagi dipenuhi oleh
para wisatawan yang berjalanan kaki disepanjang jalan Punclut yang menanjak.
Sambil berolahraga, menikmati segarnya udara pegunungan dan menikmati pemandangan
kota Bandung yang indah dari atas, serta ditemani oleh para pedagang terutama
pedagang makanan disepanjang jalan. Tapi karena hari itu adalah hari Selasa,
maka jalanan terlihat sepi oleh pengunjung yang berjalan kaki. Disepanjang jalan
Punclut berderet aneka warung dan rumah makan khas Sunda. Kami melaju terus di
rute yang berkelok-kelok dengan kondisi jalan yang jauh dari mulus.
Ternyata rute ini tembus
ke daerah Lembang. Didaerah dekat pasar Lembang kami melihat sebuah petunjuk
arah ke Floating Market Lembang. Aah saya baru teringat cerita teman saya yang
berkunjung ke pasar apung Lembang. Jadi ini toh tempatnya. Segera saya ajak
suami untuk mengunjungi tempat ini. Dia pun sama antusiasnya dan penasaran
seperti saya.
Dijalan masuk kami
dikenakan biaya Rp 10.000 / orang dan Rp 5.000 untuk parkir kendaraan. Kemudian
kami parkir kendaraan dan berjalan menuju sebuah bangunan kayu berbentuk rumah
joglo, yang merupakan pintu gerbang wisata pasar apung ini. Wow kami terhenyak melihat
pemandangan didepan kami. Rupanya pasar apung ini adalah sebuah danau yang
luas, dimana disekeliling danau dibangun aneka taman yang indah dengan saung-saung
tempat istirahat, lalu ada toko oleh-oleh, toko mainan anak, restaurant, FO, dll yang semuanya
menempati bangunan kayu berbentuk joglo. Selain itu ada arena permainan, kebun
strawberry, taman kelinci, taman batu, wahana air, dan yang paling utama adalah
pasar apung, yaitu aneka penjual makanan diatas kapal yang diparkir rapi
disepanjang danau. Pengunjung yang ingin menikmati makanan disini harus membeli
koin dulu sebagai alat pembayaran dipasar apung.
Kami berjalan pelan menyusuri
para pedagang makanan tsb, semakin lama semakin sulit kami menentukan makanan apa
yang akan kami beli. Beraneka ragam jajanan ada disini. Jajanan tradisional
seperti gorengan tahu, cireng, mendoan, cimol, jagung, surabi, cakwe, tutut
alias keong sawah, seblak, ceker seuhah, jamur crispy, batagor, siomay, lotek,
pisang bakar, ketan bakar, colenak, tape ulen, combro, misro, bacang, otak-otak,
ronde, singkong keju, kerak telor, duren bakar, dll. Jangan salah, jajanan
modern pun ada seperti dimsum, potato twist alias kentang ulir, pao alias
bakpau, kebab, risol, takoyaki, sate baso, dll. Lalu kalau mau pilih yang lebih
kenyang ada sate plus lontong, kupat tahu, empal gentong & mi jawa.
Berdasarkan pengamatan
kami, banyak pengunjung yang membeli cakwe. Jadi kami pun turut membeli cakwe, ditambah
gorengan dan cireng, kesukaan suami saya. Masih ada sisa koin 10.000 lagi yang
harus dihabiskan karena tidak ada sistem refund. Saya putuskan untuk membeli
sekantong jamur crispy. Sebenarnya saya lebih tertarik dengan kentang ulir yang
banyak dipilih pengunjung juga, tapi apa daya perut saya sudah penuh tidak bisa
menampung lagi. Parahnya lagi hari itu adalah hari kejepit sebelum Natal. Maka
banyak sekali wisatawan yang berkunjung dan makan disini sehingga kami tidak
kebagian kursi. Akhirnya kami nekat duduk diatas sebuah meja, hahaha. Kebetulan
semua meja & kursi bentuknya kecil dan rendah seperti meja kursi anak TK.
Setelah kekenyangan,
kami berjalan-jalan sambil menurunkan beban diperut, melihat-lihat keindahan
pemandangan, melihat lomba perahu dayung, serta sibuk berfoto ria. Indahnya
hari ini.
Malam-malam dikota Bandung, hawa yang semakin dingin dan gerimis yang semakin deras, semakin membuat perut kami keroncongan. Setelah menyusuri jalanan kota Bandung cukup lama, akhirnya suami memutuskan untuk makan malam di Kedai Nyonya Rumah di Jl. Naripan no 92C. Saya bilang sama suami bahwa “perasaan dulu kita sudah pernah makan di Kedai Nyonya Rumah, tapi bukan di jalan ini”. Suami saya bilang kalau resto ini memang punya cabang di Jl. Trunojoyo. Oh baru paham saya.
KEDAI
NYONYA RUMAH (**)
Malam-malam dikota Bandung, hawa yang semakin dingin dan gerimis yang semakin deras, semakin membuat perut kami keroncongan. Setelah menyusuri jalanan kota Bandung cukup lama, akhirnya suami memutuskan untuk makan malam di Kedai Nyonya Rumah di Jl. Naripan no 92C. Saya bilang sama suami bahwa “perasaan dulu kita sudah pernah makan di Kedai Nyonya Rumah, tapi bukan di jalan ini”. Suami saya bilang kalau resto ini memang punya cabang di Jl. Trunojoyo. Oh baru paham saya.
Ketika masuk tempat ini,
saya bingung, dimana tempat makannya, karena hanya ada rak kaca tempat
mendisplay kue-kue yang dijual, persis toko kue biasa. Saya bertanya kepada
seorang pelayan, bahwa kami mau makan untuk 2 orang. Dia bilang “masuk saja
kedalam bu”. Oh rupanya area tempat makan berada dihalaman belakang, dimana ada
sebuah halaman dengan kolam ikan dan meja makannya terletak diteras belakang
disekeliling taman tsb.
Buku menu yang diberikan
cukup tebal dan berat. Dihalaman pertama tertulis menu spesial yaitu Java
steak, Hawaiian bbq steak, nasi garang asam iga, nasi iga sapi bakar, kakap
steak with pineapple sauce & Deense schnitzel. Selanjutnya ada 2 kategori
masakan yaitu masakan Indonesia & Eropa. Suami saya tertarik dengan nasi
garang asam dan saya memesan beef cordon bleu karena biasanya kan chicken
cordon bleu, kalau beef cordon bleu saya belum pernah mencobanya. Untuk minumannya
suami memesan es tape kelapa muda dan saya hot chocolate. Ketara sekali ya,
suami vs saya adalah masakan Indonesia vs masakan Eropa, pasti.
Malam itu pengunjung cukup
ramai. Pesanan kami tiba dalam rentang waktu normal. Pertama adalah garang asam
yang disajikan diatas piring aluminium yang diletakan diatas sebuah tunggu
kecil dengan api, untuk menjaga masakan tetap panas. Daging iga yang disajikan
cukup banyak, ditambah buncis dan potongan tomat hijau, dengan kuah encer
berwarna coklat. Persepsi suami saya salah total, karena dalam bayangannya
adalah daging dengan belimbing wuluh, diberi kuah santan dan dibungkus daun
pisang. Jangan salah, walaupun garam asam berasal dari Jawa Tengah, tapi tiap
daerah memiliki versi cara memasak yang berbeda-beda.
Disini garang asam terasa
manis dan segar yang berasal dari kecap, tomat hijau dan jeruk limau. Dagingnya
banyak dan empuk, sangat memuaskan perut. Kemudian beef cordon bleu adalah
daging has yang berisi keju dan smoke beef didalamnya, lalu dibalut tepung
panir dan digoreng hingga berwarna coklat. Disajikan bersama jagung, brokoli, ketimun,
telur rebus, mayones, kentang goreng. Daging walau terlihat kecil, tapi tebal
loh. Isian keju dan smoke beefnya sih sedikit, tapi dagingnya tebal dan banyak.
Saya sampai kekenyangan. Setelah makan menghirup hot chocolate memang nikmat,
diatasnya diberi sebuah marshmallow (yang segera saya singkirkan).
Kesimpulan sajian disini
enak dan bercitarasa otentik yaitu seperti masakan tempo dulu. Kemudian baru
saya sadari, ketika saya selesai makan dan berjalan keluar, saya melihat sebuah
gambar yang dipigura yaitu gambar 2 buah sampul buku resep jaman dulu berjudul “Pandai
Masak”. Saya ingat betul buku masak ini dimiliki oleh nenek saya dan diwariskan
ke ibu saya. Rupanya resto ini didirikan oleh sang penulis resep ibu Julie
Sutarjana. Pantesan gaya masakannya sama seperti masakan nenek saya.
Selain enak dan otentik,
harga masakan disini tidak terlalu mahal yaitu garam asam Rp 45.000, Beef
cordon bleu Rp 53.500, es tape kelapa muda Rp 18.000, fresh orange juice Rp
18.500, hot chocolate Rp 16.000. Beda jauh dengan harga makanan di cafe-cafe
Jakarta. Kedai Nyonya Rumah memang pantas menjadi tujuan wisata kuliner kota
bandung.